Kehadiran Komite Sekolah Di Beberapa Sekolah Dianggap sebagai Formalitas Semata
- beritapantau28
- 28 Okt 2018
- 3 menit membaca

Penulis : Polman Manalu.
Munculnya berbagai macam cara pungutan diduga sebagai pungutan liar ( Pungli ) yang dilakukan oleh beberapa kepala sekolah dengan memanfaatkan komite sekolah dengan modus sumbangan sukarela yang mewajibkan para peserta didiknya untuk membayar sejumlah uang yang nominalnya sudah ditentukan bukanlah hal yang baru di dunia Pendidikan. Setiap tahunnya pada musim pendaftaran siswa baru (PPDB) orangtua harus menyiapkan sejumlah uang untuk pendaftaran anaknya dan pembelian atribut sekolah. Setiap sekolah jumlah uang yang harus disetorkan bervariasi, ada yang bersifat wajib, uang sumbangan ataupun kesepakatan.
Hampir semua sekolah mulai dari level SD sampai SLTA yang dikelola pemerintah dan swasta menerapkannya, tetapi khusus di sekolah negeri yang dikelola pemerintah daerah pungutannya lebih beragam. Padahal sudah sangat jelas pengaturan hukumnya bahwa penyelenggaraan sekolah negeri menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah meskipun memberikan ruang partisipasi masyarakat.
Maraknya pungutan disekolah yang dibebankan pada orangtua murid sudah menjadi rahasia umum sepanjang masa studi anaknya. Modus pengutipannya sangat beragam dalam bentuk berupa uang PKL, uang test kemampuan tertentu, uang pembangunan/sumbangan pengembangan institusi, uang infaq untuk pengembangan instutusi, uang pembelian (bahan) seragam, batik dan baju olahraga sekolah, uang SPP, uang pembayaran ekstrakurikuler, uang les, praktikum, uang komite, uang kas, uang studi tour, uang kebersihan, uang MPLS dan keamanan, uang ujian, uang pendaftaran ulang pada saat kenaikan kelas serta uang wisuda (kelulusan).
Pembentukan komite sekolah ditujukan untuk mewadahi, menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, serta menciptakan suasana yang kondisif transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan serta pelayanan pendidikan yang berkualitas di satuan pendidikan.
Adanya gagasan untuk melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah yang terkandung dalam konsep komite sekolah merupakan suatu ide cemerlang dalam rangka memajukan sekolah (dalam arti memajukan pendidikan). Dengan adanya komite sekolah diharapkan pelayanan yang diberikan sekolah akan lebih baik. Salah satu peran komite sekolah sebagai pengendali dan pengontrol, memberikan evaluasi terhadap layanan yang diberikan oleh pihak sekolah.
Namun Kenyataan dilapangan, berbagai fenomena muncul setelah konsep komite sekolah diimplementasikan ternyata bertentangan dengan hakekat makna yang terkandung dalam konsep itu sendiri. Fenomena-fenomena yang muncul antara lain komite yang terbentuk tidak berfungsi (hanya papan nama) atau kehadiran komite sekolah hanya bersifat formalitas semata, komite sekolah seolah-olah berfungsi sebagai stempel kebijakan-kebijakan kepala sekolah, terjadinya persekongkolan antara kepala sekolah dan komite sekolah. Komite sekolah juga dipersepsikan sebagai lembaga untuk menjustifikasi pungutan. Selain itu menjadi wadah perantara pungutan agar āseolah- olahā sekolah itu bersih, tidak terlibat sama sekali dalam soal pungutan yang dilakukan. Sehingga keberadaan komita sekolah dianggap sebagai masalah baru oleh orang tua murid karena menjadi aktor utama di balik mahalnya biaya sekolah.
Seperti halnya yang terjadi di beberapa SMA/SMK Negeri Kabupaten Bekasi,
seperti SMA N 7 Tambun Selatan yang memungut biaya Rp. 930.000. untuk biaya . IPP bulan Juli,Sampul Rapot, poto, MPLS,pendikar,psikotes dan kartu pelajar.
Selain itu ,SMA Negeri 7 Tambun Selatan juga menjual seragam kepada siswa dengan harga Rp. 920.000. jadi total yang harus dibayarkan oleh orang tua Rp. 1.850.000.
SMAN 1 Kedungwaringin memungut biaya daftar ulang Rp. 985.000. dan IPP setiap bulanya Rp. 350.000.
SMAN 4 Tambun selatan selain menjual seragam pihak sekolah juga memungut biaya gedung Rp.1000.000.
SMAN 1 Setu besaran yang dipungut per siswa hampir mencapai Rp.5.000.000.
SMAN 2 Tambun Selatan memungut biaya untuk ngedak lantai 3 Rp. 1.500.000.
SMKN 1 Cikarang Barat seragam Rp. 2.040.000. dan uang kebutuhan siswa Rp. 1.100.000.
Selain tingkat SMK/SMA tingkat SMP dan SD pun tidak mau ketinggalan,
seperti SMP Negeri 1Kedungwaringin, biaya buat beli sapu di pungut Rp.25.000. per siswa.
SD Negeri Mangun jaya 07 memungun biaya perbaikan pagar Rp. 400,000/ siswa.
SD Negeri mangun jaya 01 biaya seragam 700,000, dan uang raport Rp. 50.000.
Semua pungutan tersebut ber stempel, sudah sesuai hasil rapat komite justru dianggap memberatkan orang tua.
Kebanyakan orangtua tidak memahami pungutan-pungutan tersebut dan cenderung menuruti saja, bagi yang berkemampuan ekonomi cukup tidak akan mempersoalkannya, tetapi menjadi persoalan bagi keluarga yang kurang/tidak mampu, pungutan-pungutan tersebut sangat membebani. Seandainyapun ada orangtua merasa tidak nyaman atas pungutan itu tetapi tidak berani mempertanyakan karena takut anaknya akan mendapat masalah nanti disekolah. Ada juga yang harus terpaksa menurutinya karena sudah diputuskan dalam rapat pihak sekolah, komite dan orangtua.
Pintar-pintarnya pihak sekolah dan komite menggiring jalannya rapat mengadopsi konsep demokrasi langsung untuk membuat keputusan dengan persetujuan mayoritas orangtua murid, sementara keberatan orangtua lainnya yang tidak setuju diabaikan begitu saja. Prinsip musyawarah untuk mufakat sebagai jati diri bangsa dalam kehidupan kebangsaan sudah tergerus dan makin pudar disekolah sekalipun.
ć³ć”ć³ć