Revolusi Mental Bukan Hanya Jargon Semata ,Tapi Harus Dengan Tindakan Nyata.
- beritapantau28
- 8 Nov 2018
- 5 menit membaca
Diperbarui: 9 Nov 2018

Penulis : Polman Manalu
Pemimpin Redaksi Berita Pantau
Revolusi mental saat ini bukanlah suatu istilah yang asing lagi bagi kita, Revolusi Mental, adalah jargon yang telah dikumandangkan oleh Ir. Joko Widodo sejak masih jadi Calon Presiden tahun 2014 lalu. Jargon itu berulang kali diteriakkan setelah beliau menjadi Presiden.
Tak hanya diteriakkan, tapi juga dilaksanakan dalam tugasnya sehari hari.
Revolusi Mental tidak hanya menyangkut peningkatan intensitas bekerja, tapi juga menyangkut effisiensi dalam menggunakan dana agar tepat sasaran. Berbagai program yang menggunakan dana yang tidak kecil jumlahnya telah dilaksanakan, seperti, Program Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Sehat, Program Indonesia PIntar dan lain sebagainya dilaksanakan secara massal dengan menggelontorkan dana yang sangat besar, dengan harapan , agar semua program ini memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat yang berhak menerima dana masing masing program.
Mental itu berkaitan dengan pikiran (mind). Mentalitas berkaitan dengan cara berpikir yang sudah menjadi kebiasaan berpikir, dan suatu kebiasaan (habit) pada umunya terbentuk lewat pembiasaan. Sehingga, mentalitas dapat diubah dengan cara melakukan perubahan pada kebiasaan.
Tapi rupanya Revolusi Mental ini belum berhasil menggusur āMENTAL KORUPSIā yang sudah terlalu lama melekat dan membudaya pada diri sebagian besar pemegang kewenangan di Negeri ini.
Buktinya, masih saja kita melihat ada penyimpangan dalam penggunaan dana yang digelontorkan oleh pemerintah untuk mensejahterkan masyarakat. sebagai bukti keberpihakan Pemerintah terhadap masyarakat.
Salah satu contoh adalah maraknya penyelewengan Dana BOS. Dilihat dari tujuannya, kebijakan pemerintah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah sangatlah tepat karena Bantuan Operasional Sekolah akan dapat menyentuh masyarakat lapisan paling bawah dengan merata, di seluruh Indonesia. Sehingga ke depan diharapkan tidak ada lagi anak yang putus sekolah karena tidak ada biaya.
Dalam pelaksanaan di lapangan, program Bantuan Operasional Sekolah masih banyak ditemukan permasalahan - permasalahan. Walaupun petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sudah ditetapkan sebagai panduan penggunaa dana BOS namun dalam kenyataanya Pemerintah lemah dalam pengawasan.
1. DANA BOS DI PEGANG OLEH KEPALA SEKOLAH
Penyelewengan dana BOS biasanya bermula dari dana BOS disimpan oleh Kepala Sekolah. Penyimpanan dana BOS oleh Kepala Sekolah adalah penyimpangan yang paling fatal.
Dalam aturan, dana BOS harus disimpan oleh Bendahara Sekolah. Tidak boleh pula disimpan dalam bank untuk tujuan dibungakan. Jika ada kebutuhan, bendahara akan mengeluarkan dana sesuai dengan RKAS meski pada perjalanannya akan sering menemui perbedaan dengan anggaran. Namun, perbedaan itu masih berada dalam pengeluaran wajar sesuai aturan.

Bagi beberapa sekolah dengan manajemen yang baik, bendahara BOS akan membagi dana BOS sesuai kesepakatan Kepala Sekolah dan rapat bersama. Dana BOS akan diposkan sesuai dengan pengeluaran rutin.
Misal, ada guru yang khusus memegang gaji guru dan tenaga kependidikan honorer. Ada pula guru yang khusus membawa dana BOS untuk belanja ATK, bahan perawatan sekolah ringan/sedang, kegiatan ekstrakulikuler, dan kegiatan rutin lainnya.
Bendahara BOS akan menyimpan dana selain pengeluaran rutin yang jika sewaktu-waktu dibutuhkan bisa dikeluarkan.
Nantinya, tiap guru yang bertanggung jawab pada pos pengeluaran akan melakukan pelaporan sesuai kenyataan di lapangan kepada Bendahara BOS. Barulah pada akhir triwulan berjalan, bendahara BOS akan melakukan rekapan menyeluruh. Menghitung berapa pengeluaran total dan berapa sisa dana BOS pada triwulan tersebut. Dari kegiatan rekapan ini, bendahara BOS bisa melakukan evaluasi bersama Kepala Sekolah seberapa efektif penyerapan anggaran yang sudah dilakukan.
2. PENGELOLAAN DANA BOS TIDAK TRANSFARAN
Partisipasi publik Salah satu penyebab utama maraknya penyelewengan dana BOS adalah minimnya partisipasi dan transparansi publik dalam pengelolaannya.
Banyak Sekolah Pengelolaan dana BOS mutlak dalam kendali kepsek tanpa keterlibatan warga sekolah, seperti orangtua murid, komite sekolah, guru, dan masyarakat sekitar sekolah.
Partisipasi warga sekolah dibatasi hanya dalam urusan pembayaran uang sekolah. Di luar urusan tersebut, warga sekolah tidak boleh ikut campur. Pemahaman pihak sekolah dan dinas pendidikan atas partisipasi publik ini perlu diluruskan.
Partisipasi publik merupakan syarat mutlak untuk menekan kebocoran dana pendidikan. Partisipasi publik harus senantiasa dimunculkan, bahkan dilembagakan, sampai pada tingkat pengambilan keputusan kebijakan strategis sekolah.
Warga sekolah seharusnya berperan menentukan kondisi masa depan sekolah lima atau sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu, mereka juga didorong untuk terlibat merumuskan kebijakan sekolah mulai perencanaan, pengalokasian, sampai pengelolaan anggaran sekolah.
Lebih dari itu, warga sekolah dapat mencermati pengelolaan dana sekolah lebih dalam. Warga sekolah dapat melihat seluruh dokumen pencatatan dan pelaporan keuangan sekolah. Hal ini dimungkinkan karena Komisi Informasi Pusat telah memutuskan dokumen SPJ dana BOS adalah dokumen terbuka sepanjang telah diperiksa oleh lembaga pemeriksa dan disampaikan kepada lembaga perwakilan.
Publik, terutama warga sekolah, dapat memanfaatkan putusan ini guna mendapatkan informasi pengelolaan dana sekolah.Mereka juga dapat menggunakan putusan ini untuk menilai apakah penggunaan dana sekolah sudah wajar atau tidak.
Partisipasi dan keterbukaan informasi publik sebenarnya akan menguntungkan sekolah. Selain dapat menekan kebocoran anggaran, pihak sekolah juga dapat mengajak orangtua murid untuk menghimpun dan mengerahkan sumber daya untuk menutupi kekurangan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah yang jujur dalam pengelolaan dana sekolah dengan mudah meraih simpati orangtua murid.
Segala kekurangan sekolah, terutama dana pendidikan, akan mudah diatasi karena warga sekolah dengan ikhlas mencari dana itu pada pemerintah, swasta, atau mereka sendiri. Mereka pasti menginginkan sekolah yang jujur dan terbaik bagi anak-anak mereka.
Namun yang terjadi sekarang ini, bahwa warga sekolah tidak pernah diberitahukan tentang dana yang diterima dan dana yang telah di gunakan sehingga banyak penyalahgunaan dana yang dikucurkan oleh pemerintah tersebut.
Seperti yang terjadi Di beberapa sekolah di Kabupaten Bekasi sekarang ini, dimana hampir seluruh SMKN / SMAN melakukan pungutan dari orang tua siswa dengan hanya ber stempelkan persetujuan Komite Sekolah. Pungutan tersebut tidaklah seharusnya terjadi apabila Dana pendidikan yang diterima oleh sekolah dari seluruh sumber dikelola dengan baik, paling tidak , pungutan tersebut tidaklah sebesar yang sekarang ini.
Sebagian contoh, SMA N 7 Tambun Selatan yang memungut biaya Rp. 930.000. untuk biaya . IPP bulan Juli,Sampul Rapot, poto, MPLS,pendikar,psikotes dan kartu pelajar.
Selain itu ,SMA Negeri 7 Tambun Selatan juga menjual seragam kepada siswa dengan harga Rp. 920.000. jadi total yang harus dibayarkan oleh orang tua Rp. 1.850.000.
SMAN 1 Kedungwaringin memungut biaya daftar ulang Rp. 985.000. dan IPP setiap bulanya Rp. 350.000.
SMAN 4 Tambun Selatan selain menjual seragam pihak sekolah juga memungut biaya gedung Rp.1000.000.
SMAN 1 Setu besaran yang dipungut per siswa hampir mencapai Rp.5.000.000.
SMAN 2 Tambun Selatan memungut biaya untuk ngedak lantai 3 Rp. 1.500.000.
SMKN 1 Cikarang Barat seragam Rp. 2.040.000. dan uang kebutuhan siswa Rp. 1.100.000.
Selain tingkat SMK/SMA tingkat SMP dan SD pun tidak mau ketinggalan,
seperti SMP Negeri 1Kedungwaringin, biaya buat beli sapu di pungut Rp.25.000. per siswa.
SD Negeri Mangun jaya 07 memungun biaya perbaikan pagar Rp. 400,000/ siswa.
SD Negeri mangun jaya 01 biaya seragam 700,000, dan uang raport Rp. 50.000.
Sungguh ironis ,seharusnya kepala sekolah mencerminkan Revolusi mental kepada anak didiknya, padahal, revolusi mental ditekankan pada pembentukan karakter serta pengembangan kepribadian yang dapat membentuk jati diri bangsa. Namun Kepala Sekolah tidak mencerminkannya.
Bisa kita bayangkan betapa masih berani beraninya sejumlah pejabat melakukan tindak penyalahgunaan dana. Dan tidak cukup hanya dibayangkan. Wartawan media Berita Pantau ini saja (yang jumlahnya tidak terlalu banyak dan wilayahnya yang sangat terbatas) bisa mendapatkan informasi, bahkan disertai data data tentang penyelewengan di level menengah ke bawah. Sayangnya, informasi melalui pemberitaan kurang medapat respon dari pihak terkait untuk menelusurinya. Dan para wartawan ini harus berjuang keras di lapangan tidak hanya mengumpulkan informasi dan data, meski juga kadang kadang harus menghadapi tantangan berupa perlawan fisik /intimidasi dari orang orang bahkan dari wartawan yang notabene satu profesi yang berusaha melindungi para pelaku penyelewengan .
Meski UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999 sebenarnya cukup jelas dalam fungsinya memberi perlindungan terhadap insan pers. Namun dalam prakteknya bagi banyak wartawan, keberadaan undang undang ini belum cukup ampuh untuk melindunginya. Masih sangat banyak pekerja pers yang dikriminalisasi ketika menjalankan tugasnya disamping menghadapi āpremanismeā Yang kita harapkan, keadaan ini akan berubah.

ć³ć”ć³ć